Construction
in Conflict: Manobo Tenure as Critique of Law
Augusto B. Gatmaytan
Provinsi Agusan di Manobo mengatakan ceritaa 2
saudara yang tinggal di pantai Mindanaw:
Ketika Spaniard datang, saudara yang paling
muda memilih untuk dibaptis, dan belajar untuk membaca dan menulis. Sampai saat
itu dia telah hidup dengan membaca dan menulis. Dia dipanggi Palagsulat-“Orang yang menulis”- keluarga
dari Dumagat. Kakak yang tertua menolak untuk dibaptis atau untuk belajar dan
menulis. Dia pindah ke gunung, dimana dia melanjutkan praktik keluarganya,
mengikuti mimpi dan penglihatan. Dia dipanggil Palamgowan,”Orang yang bermimpi”. Manobo dan suku lainnya adalah
anak-anak dari Palamgowan.
Diceritakan oleh Froilan Havana, Datu yang dituakan dari sungai Adgawan
tengah, cerita ini memperlihatkan ke-contrast-an(perbedaan)
antara sifat karakteristik orang Manobo dan orang yang mengembara atau para
pendiri Basaya yang menyatakan
identitas dan perbedaan jelas dari interaksi zaman. Yang menarik adalah
sugestinya, walaupun keluarga mereka sama, hubungan timbal balik antara
anak-anak dari Palagsulat dan Palamgowan sangat bermasalah.
The
Problem.
Lahan yang berada dalam teritori mereka adalah
kepemilikan mereka bersama, tidak ada pengecualian oleh petani, yang memang
telah menjadi properti mereka.
Masalah kepemilikan lahan Manobo adalah
kesalahan yang fatal.
Sistem kepemilikan lahan mereka
dijajar-jajarkan dengan pembangunan negara oleh kepemilikan penduduk asli,
ditemukan dalam Indigenous People Rights Act (IPRA), atau Republic Act (RA)
no.8371 tahun 1997. hukum ini memberikan hak pengakuan legal secara tegas untuk
penduduk asli pada lahan dan wilayah keluarga mereka. Hukum ini juga memberikan
komunitas penduduk asli pilihan untuk memiliki lahan dan pengakuan sumber daya
secara legal.
IPRA sekarang telah difasilitasi oleh komisi
nasional pada Indigenous Peoples(NCIP),
yang menikmati dukungan kuat dari organisasi non-pemerintah (NGOs) dan sektor
lain didalamnya yang sering dipanggil “civil society”(komunitas sipil).
Walaupun perkataan yang staff NCIP kurang kompeten dan respek untuk prosedur
tidak sah, kritik hukum telah ditekan(dibisukan). Apapun kritik terhadap hukum,
sayangnya, seringnya dihalau dari sikap ideologi yang tidak(hakiki) sesuai
dengan ketetapan undang-undang terikat atau bentrok. Bagaimanapun hanya
ilustrasi bagaimana Manobo dan kebijakan pemerintah tentang lahan dan
kepemilikan sumber daya berbeda menambah sedikit pengetahuan kita. Kita harus
pergi lebih jauh untuk menelisik perbedaan-perbedaan dan mencoba untuk mengerti
proses yang mengarah pada perbedaan tesebut, dan memperoleh pelajaran berguna
tentang pentingnya masalah pembangunan masa depan utnuk anak-anak Palagsulat dan Palamgowan.
The
Adgawan Manobo
Manobo tinggal di daerah Agusan dan ada juga
di daerah Suragao del sur, Bukidnon, Davao dan Cotanato. Dalam hal ini daerah
yang lebih ditonjolkan adalah daerah Adgawan yang ada di dekat sungai di
provinsi Agusan del Sur.
Masyarakat Manobo memenuhi kehidupanya dengan
cara bertani, berburu, menjebak, memancing dan barter(ekonomi). Dalam bidang
Agrikultur, khususnya pengolahan padi(pagpanguma),
sangatlah berharga, meskipun produksinya rendah. Di daerah sekitar sungai
Adgawan terdapat tempat pengelolaan beras dengan cara tradisional yang biasa
disebut (swidden). Selain itu mereka
juga, memanen ubi(kemote), singkong(calibre), ubi jalar(hupi), jagung(batad). Abaka, tepung, beras, dan lilin
digunakan sebagai alat pertukaran(barter). Sekarang metode pertanian swidden
telah dilengkapi dengan pembajakan lahan kering(daro) dan untuk mengurangi perluasan, kultivasi padi(basak). Beruru dan menjebak babi liar,
monyet, burung, dan rusa menurun tapi masih dilakukan. Dulu memancing sangatlah
penting, tetapi terganggu oleh penebangan.
Pada tahun 1950an penebangan hutan di daerah
Adgawan masih kecil, dan pada tahun antara 1960-1980 penebangan hutan di daerah
ini mulai marak shingga daerah ini habis ditebang. Dan pada tahun 1980an
masyarakat Manobo melakukan penanam hutan kembali yang sudah pernah ditebang.
Pada tahun 1970an penebangan hutan khususnya penebangan rotan meningkat. Rotan
merupakan sumber penghasilan yang cukup besar bagi masyrakat Manobo. Banyak
para Manobo sekarang mendapatkan uang dari bertani, buruh tanam(kebun),
penebang rotan, penebangan kecil skala kecil, dan penanam spesies pohon exotic.
Komunitas Manobo sangatlah kecil, otonomis dan
mempunyai hubungan klan-klan lokal. Datu
atau ba-e adalah pemimpin seluruh
Manobo, biasanya seorang pria. Perkataan tertunjuk adalah peranan
politico-legal(politik-legal) atau fungsi tetapi tidak memaksa atau tercantum
dalam kepemiliklahanan atau kontrol sumber daya dalam memberikan area atau
teritorial. Sekarang, satu ataul lebih datu,
yang dikenal sebagai barangay dan sitio/ purok(pembantu datu),
memimpin komunitas.
Kebudayaan Manobo khas dan menarik. Norma
lokal- menghargai tradisi lama, produktivitas(khususnya bertani), menghargai
Hak yang lain(pagtahud), dan
menitikberatkan saling berbagi. Mereka menerapkan sistem kekerabatan patrial,
berpusat pada ayah atau ayah dalam hukum. Kepala keluarga banyak mempengaruhi
anak-anaknya. Ketidakterbatasannya poligini (duway) diperbolehkan tetapi jarang terjadi, bahkan pada masa
sebelumnya. Perjodohan(boya)
berkurang tetapi masih terjadi.
Arwah-arwah mendiami daerah-daerah(tagbanwa) dan arwah lainya yang bisa
dipanggil untuk membantu, untuk meminta persetujuan, atau untuk pengampunan
yang berhubungan dengan keluarga atau komunitas, ritual dilakukan teratur.
Macam-macam ritual yang dilakukan di
Manobo; Kepemilikan arwah oleh arwah
keluarga secara turun temuru(abyan, tawagonon); Ritual wajib (tulumanon) yang dilakukan dengan
mengorbankan binatang(sinugbahan, Ipu); Tabu(pamali); Ritual “polusi”
muncul dari perzinaan(sawoy,sawajan, atau
kapo-otan) atau penumpahan darah(kakuyuhagpahan). Mimpi (taga-inup) dan Tanda-tanda (bagto, bala)sering digunakan sebagai
petunjuk, dan tindakan arwah diambil sebagai penjelasan suatu peristiwa. The baylan (pemimpin keagamaan) sangat
menghargai itu semua.
Manobo
Land Tenure and Landownership
Variasi padi lokal panen setiap 5 sampai 7
bulan yang tumbuh di swidden atau kaingin(sawah), dan dipanen antara
Oktober dan Desember. Mereka biasanya menggarap pada perthaun, meski beberapa
petnai menggarapnya sekitar bulan Maret. Untuk menanam padi pemilik lahan
umumnya menggunakan bagian-bagian yang dipegang meraka untuk beberapakali
garap, lalu pindah ketempat lain untuk penggarapan padi selanjutnya. Lahan yang
sudah dipanen padi maka akan ditanami ubi (1 sampai 2 tahun produktifitas) jika
lahan tersebut digunakan lagi untuk menanam padi maka ubi tersebut akan
dipindahkan kelahan yang kosong. tiap keluarga memiliki 1 sampai 5 ladang beras
dan ubi yang berbeda tiap musimnya.
Petani pertama dapat dipastikan selau seorang
pria, menebang pohon adalah urusan pria, dapat juga menjadi pemilik dari
berbagai bungkusan yang berasal dari lahanya yang memang cukup jauh dari yang
lain. Pemilik dapa melakukan hampir semua apa yang dia mau untuk lahanya.
Hampir tidak ada kontrol komunitas terhadap
kepengurusan pemilik lahan atau perpindahan lahan. Respek untuk pemilik lahan
sangatlah dalam.
Gifting,
Selling, and Lending Land
Cara lain untuk memperoleh kepemilikan lahan
adalah dengan cara donasi atai pemberian (pag-buguy)
lahan. Lahan mungkin diberikan untuk kepastian akhir, seperti untuk memperoleh
negosiasi pernikahan atau hanya untuk kebaikan. Sekali diberikan si penerima
menjadi pemilik lahan bahkan pemberi lahanpun harus mendapatkan izin dari si
penerima. Cara lainnya adalah dengan membeli, cara ini bisa dibilang langka dan
baru. Pemilik lahan juga suka untuk meminjamkan bagian dari lahan mereka yang
tak terpakai untuk digunakan. Hak peminjam terbatas dan akan berakhir sampai
panen tiba, tetapi lahan tetap akan menjadi milik si pemilik lahan.
Manobo
Resource Tenure
Timber
: Chants and Chainsaws
Sebelum terjadinya pembalakan, pohon tidak
dianggap sebagai sumber daya. Pohon dianggap sebagai rumput, tak dihiraukan.
Ketika penebang hutan datang pada tahun 1950an, mereka bertemu dan menerima
mereka. Orang-orang Manobo membantu atau bergabung sebagai tim pembalak, sangat
membantu mengarahkan penebang untuk mencari pohon yang bagus. Ritual penebangan
dikembangkan untuk melindungi para penebang. Sebelum periode pergantian dan
exploitasi, banyak tetua melihat tahun pembalakan yang mana untuk mereka adalah
era emas untuk keantusiasan dan kesempatan, kemudahan, uang, dan keamanan.
Tidak ada rasa penyesalan karena kolaborasi mereka
dalam menghancurkan hutan, observasi yang berjalan untuk memperlihatkan
kesadaran lingkungan pada komunitas lokal. Orang Manobo tidak mananggung dalam
stabilisasi atau pemeliharaan hutan. Manobo bertindak seolah tidak pernah ada
kepemilikan kayu, orang Manobo tidak mengatur pembalakan hutan.
Ratan :
From Curse to Comerce
Menurut seorang leluhur wanita dulu, memotong
rotan untuk perdaganan akan dikutuk, karena rotan sangat berguna. Pebisnis
pertama dan penebang berasal dari luar daerah, tetapi penduduk lokal sekarang
sudah mempelajari bagaimana cara bertransaksi.
Manobo memiliki sumber-sumber alam yang lain
seperti buah-buahan, jamur, bambu, dan sumber alam tropis lainya.
Hunting,
Trapping , and Fishing
Berburu atau menjebak umumnya tidak diatur.
Tidak ada area sakral atau tampat suci, atau periode pertahun, dimana berburu
atau menjebak dilarang. Tidak ada batasan pada senjata atau jebakan yang
dipakai. Orang Manobo menggunakan senjata api, “ping-pong”(peledak kecil yang
dimasukan pada potongan kamote, yang akan meledak ketika digigit oleh babi
liar), dan bætik dan seyngwag(jebakan bambu). Tidak ada
binatang tabu. Hanya perburuan atau penjebakan babi liar –game penting- memeliki
ketentuan dan tabu. Tetapi sebelum pembatasan perburuan dan penjebakan, ritual
Manobo ditujukan bernegosiasi pada akses manusa untuk kepemilikan sumber daya
atau pekerjaan pada arwah.
Mancing atau permainan air lainnya sangat
terbuka, tidak ada kepemilikan untuk sungai. Ada pembatasan baru pada
penggunaan teknik memancing, seperti menggunakan kail racun atau kejutan
listrik. Pembatasan itu pemerintah berikan untuk melawan teknik terlarang tersebut.
Pattern
of Resource Tenure
Ini sangat menarik, kepemilikan terhadap kayu
dan rotan telah dialokasikan bukan untuk komunitas atau grup lain tetapi untuk
pemiliklahan(secara individual), secara tradisional atau konsep properti lokal terhadap kepemiliklahanan
secara individu. Konsekuensinya kayu dan rotan akan terlihat sebagai bagian
atau sebagai hasil tertulis lahan. Efeknya konsep lahan telah ditambah sehingga
termasuk kayu dan rotan yang secara fisik berakar disana.
Dalam prosesnya, kuasa dari pemilik lahan
termasuk lahan dan hubungan sosial didalamnya sama-sama diproduksi dan
direproduksi oleh pergantian kepemilikan sumber daya.
Di daerah sungai Adgawan, kepemilikan individu
adalah manager dari sumber daya
lokal. Mereka yang menentukan apakah pohon dan rotan ditebang atau tidak di
lahan mereka. Mereka mengumpulkan dokumen, sayangnya, yang tidak positif.
Sekarang mereka khawatir kayu dan rotan atau sumber daya lainya diexploitasi
berlebihan. Sementara itu, sumber daya hutan lain yang penting tetapi tidak
komersial masih ada dan termasuk kedalam kategori sumber daya yang terbuka.
A Construction of
Manobo Tenure
The Myth of Communal Land Tenure
Dalam komunitas Manobo, tidak
ada mekanisme untuk pembagian tanah melebihi pemilik tanah itu sendiri dan keluarganya.
Keadaan dan peredaran aturan pembagian warisan di Manobo memiliki ciri
khas menekankan dalam penguasaan lahan. Jika lahan bukan milik umum, maka tidak
memerlukan rangkain. Bagaimanapun juga, aturan dalam pembagian warisan
menyediakan untuk warisan individu dan pemilik lahan, dimana peraturan baru
dipakai. Dimana aturan terdahulu terus dipakai, oleh pemilik tanah
sendiri, dipilih satu ahli waris sebagai pemilik tanah, walaupun dengan
kewajiban untuk mengatur kesejahteraan bersama.
Sorot aturan warisan ini dalam
struktur sosial yang mereka jalankan. Pemilik tanah adalah tunggal bukan
anggota dalam sebuah komunitas, tetapi dalam satu hubungan dengan seorang
pemilik tanah melalui keturunan atu pernikahan untuk seorang ahli waris.
Dan kepemilkian tanah yang
benar untuk kayu rotan dan varietas utama dihubungkan untuk pemilik tanah,
upaya penguasaan lahan yang di bedakan dari yang lain.
Manobo Tenure and
State
Karena kepemilikan
lahan Adgawan Manobo dan sumeberdaya secara komersial secara individu, kekuatan
untuk mengatur sumberdaya dengan kepemilikan tanah pribadi. Tapi keaneka
ragaman pohon dan rotan, sumber daya hutan yang “ kecil ”, dan game dan memancing
dipertimbangkan sebagai sumber daya terbuka. Peraturan ini mengijinkan
pemilik lahan dan umum menggunakan sumber daya, termasuk meminjam dan memberi
pinjaman lahan itu sendiri.
Tapi ini bukan
untuk mengatakan bahwa Manobo secara budaya, politis dan ekonomis
mengasimilasikan partai besar. Sementara mereka dengan jelas mencakup dalam
artitukalasi dari kapitalisme, ideology ekonomi Negara, cara mereka dalam
berpartisipasi bermasalah untuk Negara. Produksi kayu dan rotan tanpa lisensi
oleh pemerintah, dan tidak diatur, tidak dikenakan pajak, dan tidak dikenali
oleh negara. Dalam beberapa hal, mereka adalah kaum buangan kapitalis yang mengabaikan
gugatan Negara untuk mengatur eksploitasi sumber daya mereka.
Tindakan
pemilik lahan Manobo berbeda dengan pandangan pemerintah dalam 3 point penting. Pertama, Negara
mengenai property berakar dalam sebuah fiksi sah yang pemilik asli dari semua
lahan dalam wilayah ini, Manobo memelopori dasar kepemilikan, pembuatan
property aglikultur. Kepemilikan Manobo dengan demikian menggugat monopoli
Negara dalam menentukan kepemilikan dengan system titling. Kedua, Manobo
menghubungkan kepemilikan lahan untuk kepemilikan sumberdaya, Negara membuat
suatu pembedaan diantara lahan dan sumberdaya serta mengijinkan orang berbeda
untuk mengakui mereka secara terpisah walaupun mereka mungkin tumpang tindih
secara geografis. Ketiga, konsep Negara dari penekanan hak milik eksklusif ini,
tapi praktek Manobo kurang eksklusif, seperti mengijinkan penggunaan umum dari
property individu.
Conflicts
in Construction
The
Indegenous Peoples Rights Act
Keterlibatan penduduk asli dalam melawan
pemberontakan selama rezim Marcos . perombakan itu sendiri dan NGO dari
penduduk asli pada tahun 1970an dan 1980an; penduduk lokal melatih skill dalam
artikulasi keuntungan mereka dan memobilisasi dukungan; pengamatan jaringan
antara hak lahan dan pergerakan lingkungan; tumbuh relevan dalam proses
penasihatan dan ilmu pengetahuan dalam legislasi dan pada umumnya penerimaan
hak penduduk lokal perlahan-lahan dan secara komulasi memenangkan pengakuan
akan hak penduduk lokal dari negara.
Tak ada lagi keraguan terhadap hak mereka
untuk teritorial keluarga. Pertanyaannya adalah bagaimana hak akan memberi
tanda dan terealisasikan.
IPRA mendominasi pidato isu-isu penduduk asli.
Ini memberikan, contoh, paradigma dominan untuk proteksi yang legal untuk hak
penduduk asli terhadap lahan dan sumber daya alam. Komunitas penduduk asli
mempunyai ratusan data dari Certificate of Ancestral Domain Title (CADT) dan
aplikasi Certificate of Ancestral Land Title(CALT) di NCIP. Dan ketika NCIP
masih bernegosiasi, hubungan dengan Department of Environment and Natural
Resources (DENR), IPRA benar-benar menekan DENR untuk membersihkan kontrol
terhadap isu lingkungan yang mempengaruhi hak dan bagian penduduk asli.
The State
Construction of Indigenous Tenure
IPRA adalah usaha negara untuk mengkondisikan
hak-hak penduduk asli. Hanya ada satu aspek pembuatan undang-undang. Dimensi
penting dalam pembangunan hubungan dengan penduduk asli adalah Homogenitas,
Rasionalisasi, dan pembagian ruang. Bagian kekuatan negara adalah untuk
mendekati permintaan penduduk asli, dan konsekuensinya dalam mengkonstruksi
kepemilikan tanah penduduk asli.
Sementara itu, wilayah keluarga atau sumber
daya alam yang didalamnya terdapat wilayah keluarga menyangka akan menjadi
milik komunitas. Dengan kata lain, tanah individual atau kepemilikan keluarga,
tetapi komunitas, sebagai grup, memiliki sumberdaya dan lahan tak tertunjuk
didalam teritorinya.
Construction
in Conflict
Benturan antara tindakan IPRA dalam kepemlikan
lahan dan praktis kepemilikan tanah Manobo. Pelarangan melawan penjualan atau
deposito wilayah keluarga berjalan berlawanan pada paktis orang Manobo, yang
membiarkan permilik lahan memberikan, menjual atau menukar lahan semau mereka.
IPRA juga tidak mengakui jaringan antara pemilik lahan dan pemilik sumber daya
di dalam sistem kepemilikan lahan Manobo. Merujuk pada peraturan kepemilikan
lahan Manobo, pohon komersial dan rotan dimiliki oleh pemilik lahan.
Kontrol sumber daya efektif apabila ditangan
pemilik lahan. Hukum memiliki perbedaan antara lahan keluarga dan wilayah. Untuk
menggunakan kondisi IPRA, tidak pernah ada lahan keluarga Manobo, hanya ada
wilayah keluarga.
Beberapa komunitas di Adgawan memiliki
organisasi lokal dan salah satunya bahkan mencoba untuk mengatur sumber daya lokal
secara kolektif. Tetapi experiment tersebut gagal karena melupakan praktis
kepemilikan lahan lokal. Idenya berasal
dari organisasi tersebut, disusun dari komunitas penduduk, yang mengatur sumber
yang digunakan komunitas, berlangsung cukup jauh untuk mengenakan pembalakan
rotan- pemotongan terlarang. Sayangnya. Tidak semua pemilik lahan dalam
komuniti adalah anggota dari organisasi.
Potensi masalah tersebut dikarenakan pajak
negara, konstruksi resmi kepemilikan tanah penduduk asli tidak sesuai dengan
konsep kepemilikan tanah Manobo dan praktiknya.
The
Imperative to Bureaucratize Space
Dalam respon peradilan untuk pengakuan hak dan
sumber daya penduduk asli, negara membuat asumsi pembagian kepemilikan lahan
dengan mendaftarkan masalah ini dalam dokumen IPRA. Ini semua bagian dari
proses “bureaucratization” dalam ruang yang negara Filipina paksakan untuk
menstabilisasikan dan memelihara controlnya pada penyelenggaraan politik
internalnya seperti masalah teritori penduduk asli.
IPRA bureaucratization lahan keluarga dan
wilayah dalam 3 jalan interelasi. Pertama, memberikan negara mekanisasi untuk
pengawasan pada sumber daya lokal, komunitas, dan para pemimpinya dan kewajiban
dan pendaftara untuk memonitro aktivitas ekonomi dan transaksi. Kedua negara menyatukan
“ketakutan dalam perbedaan” paksakan pada homogenitas dan standarisasi pendapat
dari dan hak, sistem kepemilikan lahan dan wilayah. Ketiga dan terakhir, proses
dokumentasi lahan dan wilayah peng-claiman
didalamnya struktur negara kapitalis imperatif, intensif dalam pengkomodisian
lahan dan wilayah.
Proses perencanaan IPRA memberikan Filipina
sebuah kesempatan untuk mendaftarkan hukum mode bureaucratizating lahan
keluarga dan wilayahnya.
Palagsulat
and Palamgowan
Untungnya, versi certia yang menggambarkan
hubungan timbal balik negara dan respek antara anak-anak yang itu 2 simbol
kekeluargaan. Palagsulat dan Palamgowan adalah saudara, certia ini bertanya
pada kita untuk melihat untuk berbagi originalitas dan saling membantu satu
sama lain dan berbagi masa depan. Pada akhirnya kita harus membuang pemikiran
dan keegoisan yang menutup kita dari saling memahami satu sama lain.
*Tugas ini diambil dari paper yang diberikan oleh Bapak Rimbo Gunawan, salah satu dosen Antropologi Unpad. papernya sendiri tidak disebarluaskan di internet.
*Paper ini merupakan rangkuman dari Translate-an dari versi aslinya yang berbahasa inggris, dan jika dilihat dari susunan terjemahannya paper ini masih berantakan, jadi gunakan otak kalian untuk berpikir sedikit mengenai inti dari paper ini, karena saya malas memanjakan otak kalian.